Pengakuan Ade Armando di Balik Unggahan Meme 'Joker Anies'


Pengakuan Ade Armando di Balik Unggahan Meme 'Joker Anies' Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono

Akademisi Universitas Indonesia, Ade Armando mengaku memperoleh meme 'joker' Anies Baswedan secara tidak sengaja dari ruang penyimpanan telepon selulernya yang terhubung dengan salah satu obrolan grup di aplikasi WhatsAppAde mengaku hanya melakukan repost atau mengirim ulang.

"Kalau Anda biasa main WhatsApp kan begitu. Kita bisa langsung buka gallery picture, dan di situ sudah ada banyak foto kan. Kita enggak tahu itu berasal WA grup mana, enggak jelas," kata Ade dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (5/11).

Seperti yang diketahui, Ade dilaporkan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris pada Jumat (1/11) atas perbuatannya.


Ade menuturkan meme yang diunggahnya murni untuk menyinggung Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta. Aksi itu tidak terlepas dari kabar mencuatnya anggaran pengadaan ganjil seperti lem aibon Rp82,8 miliar, serta pulpen yang mencapai Rp124 miliar dalam draf Kebijakan Umum APBD dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) DKI 2020.

Angka tersebut beredar ke publik usai politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) William Aditya menyoroti sebagian materi KUA-PPAS DKI Jakarta 2020 di media sosial Twitter.

"Nah, pada saat itulah (kabar melonjaknya anggaran Pemda DKI mencuat), kemudian saya unggah sebuah gambar, saya repost sebuah gambar yang saya peroleh di galeri gambar saya," kata Ade.

Namun Ade menolak menyalahkan pihak yang pertama kali mengirim meme Anies dalam aplikasi WA.

"Jangan sampai orang itu juga diperkarakan. Yang penting, saya akan jawab saya enggak tahu, dan bukan saya yang bikin," kata Ade.

Ade juga mengatakan tidak relevan jika dirinya dikenai pasal 32 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Materi UU tersebut kurang lebih mengatur bahwa siapapun dilarang mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik. 

"Jadi kalau pasal itu yang dikenakan kepada saya, saya dengan gampang menjawab kepada polisi bahwa ya bukan saya yang bikin," ujarnya.

Ade mengaku akhir-akhir ini telah menerima tawaran bantuan dari sejumlah kuasa hukum untuk melayangkan tuntutan balik kepada Fahira. Terlebih, kata Ade, Fahira suatu kali pernah menuduh Ade kebal hukum. Ade melihat itu sebagai fitnah.

"Walaupun saya harus cek ya, kalimat (tuduhan) persisnya ibu Fahira di medsos itu seperti apa. Tapi kalau itu dia memang menyatakan, ya kita tahu itu bohong. Saya tidak pernah sesumbar di manapun mengatakan bahwa saya itu kebal hukum," tutur Ade.

Selain pelaporan ke polisi, pada Senin (4/11) juga mencuat petisi 'Universitas Indonesia Pecat Ade Armando' dalam laman change.org. Menurut petisi tersebut, Ade sebagai seorang intelektual dinilai kerap membuat gaduh dengan pernyataannya yang tidak jarang menyerang tokoh politik maupun ulama.

"Kami menggalang dukungan dari masyarakat melalui petisi dengan tujuan agar Universitas Indonesia memecat Dr Ade Armando M.Sc sebagai dosen di Universitas Indonesia," tulis akun terverifikasi Nadine Olivia, pembuat petisi yang sudah meraup 9 ribu lebih suara itu.

Hingga Rabu ini, pukul 07.21 WIB, petisi itu sudah ditandatangani 20.138 netizen dari target 25.000 tanda tangan.

Petisi tersebut, menurut Ade, merupakan cerminan dari pihak-pihak tertentu yang takut tindak kejahatan korupsinya terbongkar.

Ade mengaku tidak merasa takut jika petisi tersebut berhasil membuat dirinya terlempar dari karier dunia akademik.

"Kalau gara-gara ini misalnya saya sampai harus berhenti mengajar, ya gak apa-apa juga. Saya bisa menulis buku, bikin penelitian, atau mengajar di kampus lain barangkali. Jadi enggak ada masalah sama sekali," kata Ade.

Share:

Polisi Gelar Perkara Kasus Mahasiswa Kendari Tewas Hari Ini


Polisi Gelar Perkara Kasus Mahasiswa Kendari Tewas Hari Ini Jenazah almarhum Immawan Randi (21) berada dibawa di ruang jenazah RS Abunawas Kendari, Kendari, Sulawesi Tenggara, 26 September 2019. (ANTARA FOTO/Jojon)

Penyidik Direktorat Kriminal Umum Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) hari ini menjadwalkan akan menggelar perkara kasus tewasnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, diduga akibat tembakan saat demo mahasiswa yang menolak RKUHP dan RUU kontroversial lain pada September lalu.

Demikian keterangan dari kuasa hukum korban, Sukdar saat dihubungi, Selasa (5/11).

"Informasi dari penyidik pak Kompol Subangi, besok [hari ini] digelar perkara," kata Sukdar kepada CNNIndonesia.com.


Meski tak ada undangan resmi, Sukdar mengatakan pernyampaian penyidik secara lisan bisa menjadi informasi bagi kuasa hukum untuk ikut menyaksikan gelar perkara tersebut.

"Memang tidak diatur dalam hukum acara, informasi itu bisa pemberitahuan lisan. Nanti, tim kuasa hukum akan melibatkan diri jika diminta penyidik," ujarnya.

Saat dihubungi, Sukdar mengaku baru saja mendampingi lima saksi terkait peristiwa kematian dua mahasiswa UHO, Immawan Randi dan M Yusuf Kardawi.

Dari lima saksi yang memberikan keterangan ke penyidik, empat diantaranya melihat dan mengetahui langsung peristiwa tersebut.

"Sebenarnya ada enam orang, namun satu orang berhalangan hadir," ujar Sukdar.

Ia menyatakan enam saksi yang dimaksud, pernah memberikan keterangan pada 3 dan 10 Oktober 2019. Kini, mereka dipanggil ulang terkait rencana gelar perkara yang digelar Polda Sultra dan Mabes Polri.

"Rencananya, untuk gelar perkara bersamaan besok di Polda Sultra dan Mabes Polri," kata Sukdar.

Berdasarkan surat panggilan penyidik yang diperlihatkan Sukdar melalui pesan Whatsapp, kasus kematian Randi sudah masuk tahap penyidikan dengan artian mencari tersangka penembakan. Namun untuk kasus Yusuf belum diketahui perkembangannya karena yang menangani adalah subdit yang berbeda.

"Kasus Randi ditangani Subdit III. Kasus Yusuf itu di Subdit II," bebernya.

Meski ditangani subdit berbeda, kata Sukdar, saksi yang dihadirkan mengetahui dua perkara dimaksud. Pasalnya, Randi dan Yusuf mendapatkan luka di lokasi yang berdekatan di Jalan Abdullah Silondae Kota Kendari saat demo tolak RKUHP di depan DPRD Sultra pada September lalu.

"Sampai hari ini kami belum mendapatkan surat pemberitahuan hasil pengembangan penyelidikan. Tim kuasa hukum sementara bekerja, tapi tidak mendampingi langsung keluarga Yusuf tapi kami hanya kuasa saksi untuk perkara Yusuf," tuturnya.

Sukdar berharap kepolisian segera menemukan tersangka penyebab meninggalnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo itu. Sebab, terhitung hari ini, kasusnya sudah bergulir 41 hari.

Kasus tewasnya Randi diproses kepolisian berdasarkan Laporan Polisi : LP/473/IX/2019/SPKT POLDA SULTRA tertanggal 27 September 2019. Sedangkan untuk korban Muh Yusuf Kardawi yang menjadi pelapor adalah polisi itu sendiri dengan Laporan Polisi Nomor : LP/471/IX/2019/SPKT/POLDA SULTRA tertanggal 26 September 2019.

Atas rencana gelar perkara penembakan mahasiswa Kendari itu, pihak Polda Sultra hingga berita ini ditulis belum memberikan keterangan resmi.

Kabid Humas Polda Sultra AKBP Harry Goldenhardt saat dihubungi telepon selulernya tidak aktif. Begitu pula Kasubbid Penmas Polda Sultra Kompol Agus Mulyadi tidak menjawab saat dihubungi melalui pesan Whatsapp-nya.



sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191105175308-12-445836/polisi-gelar-perkara-kasus-mahasiswa-kendari-tewas-hari-ini
Share:

Polisi Ringkus Pembunuh Dua Jurnalis Labuhanbatu


Polisi Ringkus Pembunuh Dua Jurnalis Labuhanbatu Ilustrasi. (Foto: Istockphoto/ Mbbirdy)

Personel Sat Reskrim Polres Labuhanbatu bekerjasama dengan Polsek Panai Hilir meringkus dua orang tersangka pembunuhan terhadap wartawan Maratua Parasian Siregar (42) dan Maraden Sianipar (55), warga Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara.

Kasubid Penmas Polda Sumut AKBP MP Nainggolan dikonfirmasi di Mapolda, Selasa (5/11), membenarkan penangkapan terhadap dua pelaku pembunuhan tersebut.

Tersangka pembunuh yang ditangkap adalah VS (49) warga Dusun VI Sei Siali, Desa Wonosari, Kecamatan Panai Hilir, Kabupaten Labuhanbatu, dan SH (55) warga Dusun VI Sei Siali, Desa Wonosari, Kecamatan Panai Hilir, Kabupaten Labuhanbatu.

"Kedua tersangka itu, diamankan dari rumah mereka masing-masing, Selasa (5/11) sekitar pukul 01.00 WIB," ujar Nainggolan.

Ia mengatakan jumlah tersangka pembunuhan itu ada 6 orang, namun 4 orang di antaranya buronan (melarikan diri), dan masih dilakukan pencarian oleah Polres Labuhanbatu.

Motif pembunuhan tersebut, diduga dendam terkait lahan kebun kelapa sawit.

"Penyidik masih melakukan pendalaman. Kedua tersangka masih dalam pemeriksaan untuk pengembangan lebih lanjut," ucap dia.

Sebelumnya, dua wartawan bernama Maraden Sianipar (55) warga Jalan Gajah Mada, Rantauprapat Kecamatan Rantau Utara dan Maratua Parasian Siregar (42) warga Desa Sei Berombang Kecamatan Panai Hilir, Kabupaten Labuhanbatu, ditemukan tewas dengan kondisi tubuh memprihatinkan di selokan areal perkebunan kelapa sawit PT SAB/KSU Amelia.

Korban tewas akibat luka sabetan senjata tajam di kepala, badan, lengan, punggung, dada dan bagian perut. Korban Maraden Sianipar ditemukan pada Rabu (30/10) sekitar pukul 16.00 WIB, sedangkan rekannya Maratua Siregar ditemukan Kamis (31/10) sekitar pukul 10.30 WIB.



sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191106074035-12-445938/polisi-ringkus-pembunuh-dua-jurnalis-labuhanbatu
Share:

KY Evaluasi Vonis Bebas Sofyan Basir


KY Evaluasi Vonis Bebas Sofyan Basir Mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir menangis terharu setelah divonis bebas. Sofyan dinyatakan tidak terbukti memfasilitasi pemberian suap dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo kepada mantan anggota DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Mensos Idrus Marham. Jakarta. Senin 4 November 2019. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menyebut telah mengevaluasi putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memvonis bebas eks Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hanya saja hasil evaluasi itu tidak diumumkan ke publik.

"Mungkin beberapa hari ke depan sudah ada hasil evaluasinya," ujar Jaja di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (6/11).

Jaja menuturkan pada prinsipnya setiap putusan di pengadilan menjadi kewenangan hakim yang mengadili. Jika memang tak terbukti, hakim dapat memvonis bebas seorang terdakwa.


Namun apabila ditemukan dugaan kecurangan atas putusan tersebut, kata Jaja, pihaknya dapat menindak hakim yang bersangkutan berdasarkan laporan dari masyarakat.

"Jika terdakwa bebas, atau ada perbuatan tapi bukan pidana, apapun jenis putusannya harus dihargai. Kecuali kalau ada informasi bahwa putusan hakim terpengaruh oleh sebab ABCD misalnya, silakan bisa laporkan ke Komisi Yudisial," katanya.

KY Evaluasi Vonis Bebas Sofyan BasirKetua Komisi Yudisial RI, Jaja Ahmad Jayus. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Sofyan Basir divonis bebas dalam kasus tipikor proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Sofyan dinilai tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan jaksa penuntut umum.

Sofyan sebelumnya dituntut lima tahun penjara dan denda Rp200 juta atas dugaan rencana pemberian uang kepada Partai Golkar. Uang ini berasal dari pengusaha Johannes Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.

Anggota DPR dari fraksi Golkar, Eni Maulani Saragih disebut menyampaikan kepada Sofyan bahwa ia ditugaskan Setya Novanto untuk mengawal perusahaan Johannes B Kotjo dalam proyek pembangunan PLTURiau-1.

Sofyan dinilai tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan pertama maupun kedua dari pasal 12 huruf a dan pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 56 ayat 2 KUHP.

KPK masih menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari apakah akan menerima vonis tersebut atau menyatakan kasasi.



sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191106114354-12-446004/ky-evaluasi-vonis-bebas-sofyan-basir
Share:

KPK Bantu Polisi Usut Korupsi Modus Bangun Tiga Desa Fiktif


KPK Bantu Polisi Usut Korupsi Modus Bangun Tiga Desa Fiktif Juru bicara KPK Febry Diansyah. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun membantu penyidikan kasus pembentukan desa fiktif di Sulawesi Tenggara (Sultra). Pembentukan desa fiktif disebut menjadi celah korupsi mengeruk anggaran dana desa.

Dalam kasus ini, KPK membantu Polda Sultra memfasilitasi sejumlah ahli dalam gelar perkara yang dilakukan polisi. Selain desa fiktif, aparat menemukan 31 desa di Kabupaten Konawe, Sultra terindikasi bermasalah.

"Dugaan Tindak Pidana Korupsi membentuk atau mendefinitifkan desa-desa yang tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah," kata Febri melalui keterangan tertulis, Rabu (6/11).


Dalam perkara ini, Febri menjelaskan terdapat 34 desa bermasalah di mana tiga desa di antaranya merupakan desa fiktif. Sedangkan untuk 31 desa lainnya bermasalah, salah satunya surat keterangan (SK) pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur.

"Sementara pada saat desa tersebut dibentuk sudah ada moratorium dari Kemendagri sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat tanggal pembentukan backdate [tanggal mundur]," ujar Febri menjelaskan.

Febri mengatakan KPK bersama Polda Sulawesi Tenggara sudah melakukan gelar perkara pada 24 Juni 2019. Dalam gelar perkara tersebut, disimpulkan saat naik ke tahap penyidikan akan dilakukan pengambilan keterangan Ahli Hukum Pidana.

"Dalam pertemuan tersebut diminta agar KPK mensupervisi dan memberikan bantuan berupa memfasilitasi ahli dalam perkara ini," kata dia.

Febri mengungkapkan status perkara ini sudah naik ke tahap penyidikan. Sesuai ketentuan KUHAP, kata dia, penyidikan yang dilakukan Polri adalah mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK La Ode M Syarif mengatakan kasus ini naik ke tahap penyidikan berdasarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) Nomor: B/30/VII/2019/Dirkrimsus tertanggal 16 Juli 2019.

"SPDP telah disampaikan kepada KPK. Berdasarkan SPDP tersebut telah dikirimkan Surat Polda Sulawesi Tenggara kepada KPK Nomor: B/3051/VIII/Res.3.3/2019 tanggal 23 Juli 2019 perihal permohonan bantuan Korsup dan permintaan ahli," kata Laode, Rabu (6/11). 

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap keberadaan desa fiktif di Kabupaten Konawe yang berdampak pada penggunaan dana desa tidak tepat sasaran.

Tiga desa yang diduga fiktif itu adalah Desa Ulu Meraka Kecamatan Lambuya, Desa Ueapi Kecamatan Uepai dan Desa Morehe Kecamatan Uepai. Kemenkeu dan Kemendagri akan mengecek kembali desa yang diduga fiktif tak berpenduduk namun mendapatkan alokasi dana desa.

sumber: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun membantu penyidikan kasus pembentukan desa fiktif di Sulawesi Tenggara (Sultra). Pembentukan desa fiktif disebut menjadi celah korupsi mengeruk anggaran dana desa.

Dalam kasus ini, KPK membantu Polda Sultra memfasilitasi sejumlah ahli dalam gelar perkara yang dilakukan polisi. Selain desa fiktif, aparat menemukan 31 desa di Kabupaten Konawe, Sultra terindikasi bermasalah.

"Dugaan Tindak Pidana Korupsi membentuk atau mendefinitifkan desa-desa yang tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah," kata Febri melalui keterangan tertulis, Rabu (6/11).


Dalam perkara ini, Febri menjelaskan terdapat 34 desa bermasalah di mana tiga desa di antaranya merupakan desa fiktif. Sedangkan untuk 31 desa lainnya bermasalah, salah satunya surat keterangan (SK) pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur.

"Sementara pada saat desa tersebut dibentuk sudah ada moratorium dari Kemendagri sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat tanggal pembentukan backdate [tanggal mundur]," ujar Febri menjelaskan.

Febri mengatakan KPK bersama Polda Sulawesi Tenggara sudah melakukan gelar perkara pada 24 Juni 2019. Dalam gelar perkara tersebut, disimpulkan saat naik ke tahap penyidikan akan dilakukan pengambilan keterangan Ahli Hukum Pidana.

"Dalam pertemuan tersebut diminta agar KPK mensupervisi dan memberikan bantuan berupa memfasilitasi ahli dalam perkara ini," kata dia.

Febri mengungkapkan status perkara ini sudah naik ke tahap penyidikan. Sesuai ketentuan KUHAP, kata dia, penyidikan yang dilakukan Polri adalah mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK La Ode M Syarif mengatakan kasus ini naik ke tahap penyidikan berdasarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) Nomor: B/30/VII/2019/Dirkrimsus tertanggal 16 Juli 2019.

"SPDP telah disampaikan kepada KPK. Berdasarkan SPDP tersebut telah dikirimkan Surat Polda Sulawesi Tenggara kepada KPK Nomor: B/3051/VIII/Res.3.3/2019 tanggal 23 Juli 2019 perihal permohonan bantuan Korsup dan permintaan ahli," kata Laode, Rabu (6/11). 
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap keberadaan desa fiktif di Kabupaten Konawe yang berdampak pada penggunaan dana desa tidak tepat sasaran.

Tiga desa yang diduga fiktif itu adalah Desa Ulu Meraka Kecamatan Lambuya, Desa Ueapi Kecamatan Uepai dan Desa Morehe Kecamatan Uepai. Kemenkeu dan Kemendagri akan mengecek kembali desa yang diduga fiktif tak berpenduduk namun mendapatkan alokasi dana desa.


Share:

DPR Kirim Naskah Revisi UU KPK ke Jokowi


DPR Kirim Naskah Revisi UU KPK ke Jokowi Anggota Badan Legislasi DPR yang juga kader PDIP Hendrawan Supratikno menyebut naskah revisi UU KPK sudah dikirim ke Jokowi. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI langsung mengirim draf revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komis Pemberantasan Korupsi (UU KPK) ke Presiden Joko Widodo setelah mengesahkannya sebagai usulan insiatif DPR pada Kamis (5/9).

Anggota Badan Legislasi DPR Hendrawan Supratikno mengatakan pihaknya saat ini menunggu respons Jokowi dalam bentuk surat presiden (surpres) serta Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) saat ini.

"Tadi baru disahkan sebagai rancangan undang-undang (RUU) Inisiatif DPR. DPR mengirim RUU tersebut kepada Presiden untuk direspons dalam bentuk dikeluarkannya surpres beserta DIM," kata Hendrawan kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (5/9).

Setelah menerima respons Jokowi, lanjutnya, DPR akan menggelar Rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menentukan alat kelengkapan dewan yang akan membahas revisi UU KPK selanjutnya, baik itu komisi atau dengan membentuk panitia kerja (panja) atau panitia khusus (pansus).

Menurut Hendrawan, bila semua proses ini dilakukan secara cepat maka revisi UU KPK bisa selesai sebelum masa bakti anggota DPR periode 2014-2019 berakhir pada 30 September.


"Bila dilakukan dengan cepat, minggu depan sudah ada kemajuan yang signifikan," imbuhnya.

Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR sepakat revisi UU MD3 serta UU KPK menjadi usul inisiatif DPR.

Kesepakatan diambil setelah juru bicara dari 10 fraksi yang duduk di Senayan menyampaikan pendapat secara tertulis ke meja pimpinan Rapat Paripurna DPR.

"Setuju (jadi usul inisiatif DPR)," ucap anggota dewan pada dua revisi regulasi itu di Ruang Rapat Paripurna DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (5/9).

Pimpinan Rapat Paripurna, Utut Adianto berkata bahwa revisi UU MD3 dan UU KPK selanjutnya akan disikapi sesuai mekanisme yang berlaku.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190905173437-12-427894/dpr-kirim-naskah-revisi-uu-kpk-ke-jokowi
Share:

Recent Posts