ICW Sebut DPR Berupaya Lemahkan KPK Lewat Revisi UU


ICW Sebut DPR Berupaya Lemahkan KPK Lewat Revisi UU Rencana Revisi UU KPK oleh DPR dinilai sebagai upaya untuk melemahkan lembaga antikorupsi itu. (CNN Indonesia/Andry Novelino).

 Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik keras langkah DPR yang memutuskan berinisiatif revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Rencana Revisi UU KPK ini mencuat di tengah persoalan pemilihan calon pimpinan dan dianggap sebagai upaya pelemahan lembaga antikorupsi tersebut.

"Dapat dipastikan jika pembahasan ini tetap dilanjutkan untuk kemudian disahkan maka pemberantasan korupsi akan terganggu dan eksistensi KPK akan semakin dilemahkan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Kamis (5/9).

ICW menyoroti beberapa isu yang harus dikritisi dalam draf revisi UU KPK yang sudah beredar di tengah masyarakat. Masalah pertama adalah pembentukan Dewan Pengawas.


Kurnia menyebut Dewan Pengawas ini adalah representasi dari Pemerintah dan DPR yang ingin campur tangan dalam kelembagaan KPK. Mekanisme pembentukan Dewan Pengawas bermula dari usul presiden dengan membentuk Panitia Seleksi, lalu meminta persetujuan dari DPR.

Kemudian, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Menurut Kurnia, isu ini sudah dibantah berkali-kali dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010.

Kurnia menyatakan Pasal 40 UU KPK yang melarang menerbitkan SP3 bertujuan agar KPK tetap selektif dalam menentukan konstruksi sebuah perkara agar nantinya dapat terbukti secara sah dan meyakinkan di muka persidangan.

Lalu soal pelaksanaan tugas penuntutan KPK yang harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Poin ini menjadi kemunduran pemberantasan korupsi, karena KPK adalah sebuah lembaga yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap

"Tentu jika harus berkoordinasi terlebih dahulu akan menghambat percepatan penanganan sebuah perkara yang akan masuk fase penuntutan dan persidangan," ujarnya.

ICW juga menyoroti masalah penyadapan yang harus mengantongi izin Dewan Pengawas. Menurutnya, permintaan izin ini justru akan memperlambat penanganan pidana korupsi dan bentuk intervensi atas penegakan hukum yang berjalan di lembaga antikorupsi.

"Selama ini KPK dapat melakukan penyadapan tanpa izin dari pihak manapun dan faktanya hasil sadapan KPK menjadi bukti penting di muka persidangan," katanya.

Dalam revisi itu, Kurnia menyebut KPK tak lagi sebagai lembaga yang independen. KPK disebutkan menjadi lembaga pemerintah pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan korupsi bersifat independen.

Kemudian, KPK hanya dibatasi waktu satu tahun untuk menangani sebuah perkara. Dalam Pasal 40 ayat (1) draf perubahan disebutkan bahwa KPK hanya mempunyai waktu 1 tahun untuk menyelesaikan penyidikan ataupun penuntutan sebuah perkara.

Menurut Kurnia, keberadaan pasal itu menunjukkan ketidakpahaman DPR dalam konteks hukum pidana. Jangka waktu hanya berlaku untuk masa kedaluwarsa penuntutan yakni dalam Pasal 78 ayat (1) KUHP.

"Harusnya DPR memahami bahwa setiap perkara memiliki kompleksitas persoalan berbeda," tuturnya.

Pasal lain yang juga perlu dikritisi, kata Kurnia adalah ketentuan yang menghapus kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen.

Dalam draf perubahan tertulis pada Pasal 43 dan 45 bahwa KPK hanya berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik yang berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan, serta PNS.

Menurutnya, ke depan lembaga antirasuah tak bisa mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Padahal Putusan MK tahun 2016 sudah menegaskan kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik di luar dari institusi Kepolisian atau Kejaksaan.

"Lain hal dari itu penting untuk mencegah adanya loyalitas ganda ketika penyidik yang berasal dari institusi lain bekerja di KPK," ujarnya.

Lebih lanjut, Kurnia juga mempermasalahkan soal penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK dapat dihentikan. Dalam draf perubahan, Pasal 70 huruf c, menyebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang proses hukumnya belum selesai mengikuti aturan ini.

Ia melanjutkan nantinya KPK tidak bisa membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia. Menurutnya, hal itu tertuang di Pasal 19 draf perubahan. Padahal dalam UU KPK saat ini ditegaskan bahwa KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.

Tak hanya itu, menurut Kurnia syarat menjadi pimpinan KPK mesti berumur 50 tahun juga patut dipersoalkan. Ketentuan itu menutup ruang bagi kaum muda yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pemberantasan korupsi untuk dapat menjadi Pimpinan KPK.

Menurutnya, poin-poin krusial tersebut menggambarkan bahwa DPR secara serampangan menginisiasi adanya revisi UU KPK. Untuk itu, kata Kurnia, ICW meminta Presiden Joko Widodo menghentikan pembahasan revisi UU KPK.

"DPR fokus pada penguatan KPK dengan cara merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ujarnya.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190905200207-12-427957/icw-sebut-dpr-berupaya-lemahkan-kpk-lewat-revisi-uu
Share:

Recent Posts